Rasulullah adalah sosok pribadi yang penuh teladan dalam dirinya, diantara sifat teladan yang bisa kita ambil hikmahnya adalah sikap sopan santunnya terhadap siapa saja. Beliau tidak memandang apakah orang yang dihadapinya itu adalah sahabat beliau maupun orang kafir yang memusuhinya.
Ada sebuah kisah yang mencatat bagaimana sikap sopan santunnya beliau terhadap pendeta Yahudi yang berperilaku kasar terhadap beliau. Kisah ini berawal dari peristiwa
Suatu ketika datang menemui beliau seorang Badui, “Ya Rsulullah, dikampung itu ada sekumpulan manusiayang sudah memeluk Islam dengan mengatakan jika dengan memeluk Islam, mereka akan mendapat rahmat dan rezeki dari Allah. Tetapi sesudah mereka semua menjadi muslim, terjadilah musim kering dan panassehingga mereka ditimpa bahaya kelaparan. Saya khawatir, ya Rasulullah, jika mereka kembali kufur meninggalkan Islam karena soa; perut. Saya ingin agar engkau mengirimkan bantuan untuk mengatasi bahaya kelaparan yang menimpa mereka.
Mendengar keterangan itu. Rasulullah saw. lalu memandang Ali ibn Abu Thalib r.a. Ali mengerti maksud pandangan itu lalu berkata, “Ya Rasulullah, tidak ada lagi bahan makanan pada kita.” Zaid ibn Sanah, seorang Pendeta Yahudi yang mendengar laporang Badui dan pembicaraan Rasulullah dengan Ali r.a., berinisiatif menawarkan diri, “Wahai Muhammad, kalau engkau suka, akan saya belikan kurma yang baik lalu kurma itu dapat engkau beli padaku dengan utang dan dengan perjanjian begitu, begini.”
Kata beliau, “Jangan dibeli kurma itu sekiranya kau berharap aku beruntung kepadamu tetapi belilah kurma itu dan berilah kami pinjaman darimu.”
“Baiklah.” jawab Zaid ibn Sanah.
Zaid ibn Sanah pun membeli buah kurma yang baik-baik lalu menyerahkan kepada Rasulullah saw. dengan perjanjian-perjanjian tertentu dan akan dibayar kembali dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Rasulullah menerima kurma darinya lalu dibagikan kepada penduduk kampung yang ditimpa bencana itu.
Dua atau tiga hari sebelum tiba tempo perjanjian pengembalian pinjaman seperti yang ditetapkan
dalam perjanjian itu, Rasullah saw. keluar menziarahi orng wafat bersama Abu Bakar, Umar, Usman, dan beberapa orang sahabat yang lain. Setelah selesai menyembahyangkan jenazah tersebut, Rasulullah saw. pergi kesuatu sudut untuk duduk. Tak disangka, Zaid ibn Sanah, si Yahudi itu menghampirinya dengan memegang erat-erat baju beliau dan berkata sekasar-kasarnya. “Hai Muhammad, bayar utangmu kepadaku, aku tahu bahwa seluruh keuarga Abdul Mutalib itu selalu melengah-lengahkan masa untuk membayar utang.”
Mendengar kata-kata kasar itu, tentu saja Umar ibn Khattab r.a. naik pitam, “Hai musuh Allah, engkau berkata begitu kasar kepada Rasulullah dan berbuat tidak sopan. Kalalu tidak karena rasa hormatku terhadap Rasulullah yang berada disini, sungguh aku akan tebas lehermu.”
Rasulullah saw. memandang si Yahudi tesebut dalam keadaan tenang, tanpa ingin membalas ucapannya, lalu berkata kepada Umar, “Hai Umar, antara saya dengan dia urusan utang piutang yang belum selesai. Sebaiknya engkau menyuruh aku membayar utang itu dan menganjurkan kepadanya untuk berlaku baik menuntut utangnya. Hai Umar, pergilah bersama dia ketempat penyimpanan kurma, bayarlah utang itu kepadanya dan tambahlah 20 gantang sebagai hadiah untuk menghilangkan marahnya.”
Setelah Umar membayar utang itu dengan tambahan tersebut, lalu Zaid ibn Sanah pun bertanya kepada Umar, “Kenapa ditambah hai Umar?”
Berkatalah Umar, “Tambahan ini adalah perintah Rasulullah untuk imbangan kemarahanmu.”
“Hai Umar, kanalkah engkau siapa aku?” tanya Zaid ibn Sanah.
“Tidak,” jawab Umar.
“Akulah pendeta Zaid ibn Sanah.”
“Engkau ini pendeta Zaid ibn Sanah?” Umar agak terkejut.
“Ya, “jawab Zaid ibn SAnah.
“Kenapa engkau berlaku demikian terhadap Rasulullah ? Engkau telah berlaku begitu kasar kepadanya.”
Zaid ibn Sanah menjelaskan bahwa ia telah mengenal tanda kenabian beliau dari perasaannya yang santun. Beliau tidak mudah emosi dan menunjukkan kasih sayangnya. Lalu pendeta itu pun memeluk Islam. Meski sempat dilecehkan, Rasulullah saw. tetap mengontrol diri dan berkata secara bijaksana.